Sabtu, 10 Mei 2008

Kewiraswastaan Dan Situasinya di Indonesia

Ilmu Kewiraswastaan pada dasarnya merupakan ilmu tentang penghidupan. Sebab,
kewiraswastaan mencakup segi-segi pembinaan mental, fisik, ilmu pengetahuan dan teknologi,
hubungan kemasyarakatan, hubungan keluarga, pandangan hidup, filsafat serta aspek-aspek
spiritual.
Mengacu kepada kenyataan itu, kelihatan bahwa kewiraswastaan merupakan bidang yang sangat
luas jangkauannya. Mungkin inilah satu-satunya bidang yang menangani kepentingan manusia
secara menyeluruh, merambah kesegala sisi kehidupan. Dengan ilmu kewiraswastaan yang dibina
dengan sempurna, tentu bisa diharapkan munculnya sosok-sosok manusia ideal yang bisa
diandalkan bagi pencapaian kemajuan negara serta peningkatan taraf hidup bangsa.
Pada kebanyakan negara-negara yang telah maju seperti Amerika atau negara yang baru saja maju
seperti Korea dan Taiwan, kemapanan ekonomi negaranya sebagian besar ditunjang oleh peran
para wiraswastawannya. Mereka bekerja keras dengan kesadaran penuh bahwa hasil karyanya
amat dibutuhkan oleh masyarakat, dan mereka selalu mau belajar sungguh-sungguh untuk
mendapatkan teknologi yang dibutuhkan. Pada umumnya semua wiraswastawan disana memiliki
pengabdian tinggi kepada negara, sehingga amat jarang ada diantara mereka yang hanya
memikirkan kepentingan pribadi dan menumpuk kekayaan guna memanjakan diri sendiri dan
keluarganya.
Sikap seperti itu menunjukkan bahwa kaum pengusaha yang bersangkutan mempunyai sikap
mental yang amat baik. Sikap mental demikian akan menjamin kontribusi kaum pengusaha
kepada negara, menjadi maksimal. Sebaliknya, bila sikap mental para wiraswastawan buruk, maka
bukan saja partisipasi kalangan bisnis menjadi minimal, lebih jauh lagi sepak terjang mereka
bahkan akan merusak tatanan ekonomi serta unjuk kerja negara secara keseluruhan.
Di Indonesia, di awal abad ke-21 ini, kewirausahaan boleh dikata baru saja diterima oleh
masyarakat sebagai salah satu alternatif dalam meniti karir dan penghidupan. Seperti diketahui,
umumnya rakyat Indonesia mempunyai latar belakang pekerja pertanian yang baik. Dengan
hidup dialam penjajahan hampir 3 ½ abad lamanya, nyaris tidak ada figur panutan dalam dunia
kewirausahaan. Yang ada hanya pola pemikiran feodalisme, priyayiisme serta elitisme, yang satu
diantara sekian banyak ciri-cirinya adalah mengagungkan status sosial sebagai pegawai, terutama pegawai negeri (kontras dengan status leluhur yang petani).
Pada era orde baru, pemerintah sadar bahwa untuk memajukan bangsa dan negara, peran serta
masyarakat swasta harus dilibatkan secara serius. Oleh sebab itu, kewiraswastaan mulai
dikampanyekan, dengan berbagai penekanan antara lain bahwa lowongan kerja tidak akan mampu
menampung jumlah angkatan kerja yang dari tahun ketahun semakin membengkak. Lebih jauh,
para pengusaha kecil dibina, dengan harapan bisa berkembang menjadi tonggak tumpuan
ekonomi dimasa datang. Pengusaha besar diberi kemudahan, karena merekalah kini pemainpemain
utama yang mendukung tugas pemerintah disektor ekonomi.
Sebagai negara berkembang, bisa dimengerti kalau terjadi berbagai ekses dan penyimpangan.
Dengan masyarakatnya yang berlatar belakang non-entrepreneur (bukan wiraswastawan) serta
cenderung feodalis, bangsa Indonesia tampak kurang siap dibeberapa aspek. Dalam periode
transisi dari alam birokrasi ke iklim bisnis yang serba cepat, pacuan kewiraswastaan menyebabkan
para pengusaha Indonesia "kedodoran" pada segi-segi yang amat penting, diantaranya, faktor
sikap mental (attitude), motivasi, etos kerja serta kesadaran tentang pengabdian pada bangsa dan
negara.
Hiruk pikuknya dunia usaha, dibumbui dengan terjadinya kesenjangan antara yang besar dan yang
kecil, mengakibatkan beralihnya acuan hidup kepada uang semata. Masyarakat kehilangan
pegangan moral, dan terjerumus kedalam pandangan hidup mencari jalan pintas tercepat menuju
tercapainya perolehan harta sebanyak-banyaknya untuk..kepentingan pribadi. Tidak ada lagi etika
bisnis, semua dihalalkan, kalau perlu dengan menindas orang lain. Padahal, ketika banyak dari
mereka telah berhasil mengumpulkan harta, apalagi yang harus diperbuat ? Semua yang didapat
dari jalan pintas ternyata terasa hambar, tidak mendatangkan kepuasan ataupun kebanggaan.
Merasa masih tak puas, orang cenderung mengejar lebih banyak lagi materi dengan asumsi yang
sudah ada masih kurang, kejar dan kejar lagi.. Bagaikan gatal yang makin digaruk makin
menyebabkan rasa gatal menjadi-jadi, pada akhirnya akan meroyak menjadi borok.
Bagaimanapun, kita masih sadar, bahwa kesiapan kita memang belum mantap. Tidak ada
panutan, serta masih asingnya seluk-beluk kewiraswastaan. Oleh sebab itu, diperlukan sesuatu
untuk meluruskan apa-apa yang masih belum lurus, serta memperbaiki apa yang belum sempurna.
Disinilah dibutuhkan pendidikan kewiraswastaan dan sekaranglah saatnya yang tepat, sebelum
kita memasuki babak baru yang lebih sarat dengan tantangan, yang kita kenal dengan era
globalisasi ekonomi.

Tidak ada komentar: